JEJAK LANGKAH DNIKS SEJAK MASA BUNG KARNO

Kemegahan Gelora GANEFO (Games of New Emerging Forces/GBK sekarang) di bilangan Senayan, ibukota Jakarta. Ternyata masih belum mampu mengubah kehidupan ekonomi rakyat di sekitarnya. Bahkan juga rakyat kota Jakarta keseluruhan. Serupa seperti menjulang tingginya Tugu Monas yang bertahtakan emas, tidak pula membawa penduduk Betawi terangkat makmur dan berpendidikan tinggi. Krisis ekonomi nasional berkepanjangan semenjak pemotongan mata uang Gajah di tahun 1959, menjadikan rakyat semakin terpuruk ke dalam jurang kemiskinan yang tidak menentu serta tak berujung pangkal.

Di istana, Bung Karno lagi-lagi memekikan agenda ‘‘Trikora’’ di setiap kesempatan. Tiga Komando Rakyat. Rebut Kembali Irian Barat kepangkuan Ibu Pertiwi – Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh Bumi Irian Barat dan Kobarkan Api Perjuangan di kalangan Pemuda untuk Bebaskan Irian Barat dari tangan Penjajah Belanda. Maka dilantiklah Mayjen Soeharto sebagai Panglima Komando Tertinggi Mandala saat itu. Pimpinan Operasi Gabungan Pembebasan Irian Barat. Peperangan laut hanya sekejap. Namun Komodor Laut Yos Sudarso, gugur di sana di Laut Aru. Tepat tanggal 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan pemerintahan Irian Barat kepada Indonesia.

Tidak berhenti di sana. Bung Karno terus menerus meniupkan sangkala peperangannya di tengah badai ekonomi nasional yang menghempaskan. Kali ini dalam kemasan ‘‘Dwikora’’ yang memukau. Dua Komando Rakyat. Ganyang Negara Boneka Malaysia dan Usir Neokolonialisme Inggris dari Tanah Malaya. Gugurlah dua sersan Marinir Usman bin Muhammad Ali dan Harun bin Said alias Tahir di tiang gantungan di kota Singapura, sebagai Kusuma bangsa. Sebelum mereka sempat meledakkan bom di tengah kota, tangsi militer milik Inggris. Politik di era itu adalah benar-benar menjadi Panglima. “Satu tangan pegang bedil dan satu tangan lagi pegang pacul”.

Wajar bila kemudian inflasi nasional membumbung hingga angka 650% akibat pemerintah terus mencetak uang. Hutang luar negeri guna kepentingan pembelian alutsista dari Rusia dan Eropa Timur membobolkan devisa negara hingga kosong melompong. Minus malahan. Anggaran guna kepentingan militer saat itu memicu defisit sebesar Rp 1,32 triliun alias empat kali lipat dari defisit setahun sebelumnya 1963.

Puluhan panti pelayanan kaum tuna disabilitas tercekik, merasa tidak
sanggup lagi melaksanakan kegiatannya. Terancam tutup dan gulung tikar.

Prahara nasional ternyata bukan saja telah meluluh lantakkan kehidupan rakyat jelata saja. Bahkan hingga pada lini soal kewajiban negara untuk turut melindungi kaum rentan papa, para tuna juga lansia yang pernah pula angkat senjata menegakkan berkibarnya Sang Saka Merah Putih di awal Kemerdekaan. Di tiap sudut dan pelosok negeri terjadi antrian untuk memperoleh beras, lauk serta minyak tanah bahan bakar kompor. Gelandangan, pengemis dan para gangguan jiwa bergentayangan bebas di jalanan kota Jakarta, maupun kota lainnya. Pengorbanan rakyat tak jua kunjung akhir. Langkah cepat untuk mengatasinya dilakukan oleh Menteri Keuangan Djuanda melalui Regulasi 26 Mei 1963. Sayangnya kebijakan tersebut, kandas di tengah jalan. Bradley R Simpson menyebutnya sebagai Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.-Indonesian Relations, 1960-1968.

Adalah Badan Kerjasama Panti Asuhan (BKSPA) yang lahir semenjak 1957, yang pertama kali mencoba untuk menyampaikan kepada pemerintah tentang situasi pelayanan sosial baik di Jakarta atau di kota lainnya. Terdiri dari sejumlah organisasi sosial yang berada di bawah payung Aisyah Muhammadiyah, Muslimat NU, Dewan Gereja Indonesia, Darul Aitam, Hollands Women Council serta beberapa lagi lainnya. Sebelumnya di masa kependudukan Jepang mereka juga sudah ada, walaupun tidak begitu besar dan tidak banyak kegiatannya. Namanya ‘‘Naikubu Kosaika’’. Rombongan BKSPA didampingi oleh Prof. Raden Mas H Sumantri Praptokusumo (Muhammadiyah) yang ketika itu menjabat sebagai Dirjen Departemen Sosial, beserta koordinator delegasi Johana Sunarti Nasution berupaya menghadap Bung Karno. Mayor Sabur yang ketika itu adalah ajudan kepercayaan Presiden menerima rombongan tersebut.

Entah mengapa acara yang sudah dijadwalkan istana tersebut batal. Esoknya, keluarlah pemberitaan di media-media nasional pernyataan keras Penyambung Lidah Rakyat tentang ‘‘Go to Hell with Your Aid’’. Mungkin karena sudah ada yang melaporkan bahwa lebih dari separuh organisasi sosial yang datang menghadap ke istana, adalah dibawah payung internasional. Karena turut bersama mereka Peter Van Berg, Pimpinan Panti Asuhan Vicentius Putera, Broeder Wynand, Zuster Augusta, Mevrouw de Vreede, Ny. Tjoa (Chúnjié de xīn), Ny. Oetardjo dan Ny. Titi Said (Mother Wings), Ny. Soma (Putera Setia), Vera Oei Hong Luan, Ny. Lauw (Chandra Naya) dan Prof. Dr. Hendarmin (Hollands Women Council) serta beberapa lagi lainnya.

Perjuangan memang tidak mengenal kata jera. Di manapun dan sampai kapanpun. Merasa tidak ditanggapi oleh Presiden Sukarno, Johana Sunarti Nasution yang kala itu juga sebagai Ketua Persit (Persatuan Istri TNI) didesak oleh mereka yang kecewa atas sikap presiden untuk mengadakan pertemuan. Menggagas kembali langkah-langkah organisasi sosial nasional dalam mewujudkan negeri yang sejahtera. Tanpa atau pun dengan pemerintah. Anggota yang turut serta juga semakin bertambah. Diantaranya adalah Ny. Tika Gondokoesoemo, Ny. Siregar, Ny. Shiil Abdurachim, Ny. Soemarno (istri Gubernur Jakarta Dr Soemarno) dan beberapa lagi dari kelompok Katolik, Protestan,Islam maupun organisasi internasional.

Tepat empat minggu sebelum pecah G30S PKI, pada 2 September 1965, Johana Sunarti Nasution didaulat sebagai pimpinan Badan Kerjasama Panti Asuhan (BKSPA).

Pada bulan Februari 1967, setelah pemerintahan dipegang oleh Presiden Suharto, delegasi ekonomi Indonesia antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Drs. Radius Prawiro, Sumitro Djojohadikusumo serta beberapa lagi lainnya menuju Den Haag, Belanda. Yakni membicarakan persoalan ekonomi nasional yang tengah tepuruk dan membutuhkan bantuan donator luar negeri. Maka, bertemulah delegasi tersebut dengan Perdana Menteri (PM) Berend Jan Udink dan mengadakan perundingan selama lima hari. PM Belanda Jan Udink sepakat untuk menjadi Koordinator IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia). Anggota donator tersebut selain sejumlah negara kaya, juga bank-bank internasional. Jan Udink juga mengingatkan bahwa jangan terulang kembali dana yang diberikan guna pembangunan ekonomi, dialokasikan untuk memperkuat militer.

‘‘Tentu saja tidak. Karena era sudah berbeda.’’ tegas Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Bahkan, Sri Sultan juga meyakinkan Jan Udink bahwa pemerintah nantinya akan lebih memperhatikan pula persoalan-persoalan pembangunan sosial masyarakat yang di masa lalu terlalaikan. Anggaran guna pembangunan panti-panti sosial ataupun pelayanan sosial lainnya akan ditambah serta diperhatikan. PM Belanda yang juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Belanda, serta juga mantan Minister of Housing and Spatial Planning, merasa lega dengan perkataan itu. Sepulang dari Belanda, ketika berjumpa dengan Jendral AH Nasution di Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sri Sultan menceritakan kisahnya tersebut.

Dalam perjalanan selama awal Orde Baru, ternyata BKSPA yang dikomando oleh Johana Suharti Nasution berkembang sangat cepat dan pesat. Sejumlah donator dari Eropa, American Women Association, Werg Group 72 (Hollands), Australia, Kanada maupun Jepang ikut mendanai kegiatan-kegiatan BKSPA. Lebih-lebih setelah Gubernur Jakarta Mayor Jendral KKO Ali Sadikin menerbitkan SK Gubernur guna mengucurkan dana untuk kegiatan yang dilakukan oleh BKSPA. SK Gubernur Jakarta no A10/1/16/1966 tertanggal 30 April 1966 juga mencantumkan Gubernur sebagai pelindungnya. Menteri Dalam Negeri yang sebelumnya adalah Gubernur Jakarta dr. Soemarno malahan sehari sebelumnya juga meluncurkan SK soal bantuan dan jaminan sosial.

Pada 1 September 1966, di Washington D.C., Amerika Serikat diselenggarakan sebuah konferensi internasional tentang Kesejahteraan Sosial, ‘‘The 13th International Conference of ICSW (International Council on Social Welfare)’’. Tuan rumahnya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Semula ICSW adalah sebuah organisasi kesejahteraan sosial tingkat regional Eropa yang didirikan di Paris pada tahun 1928. Namun setelah berakhirnya Perang Dunia II, permasalahan yang mereka tangani semakin kompleks serta membutuhkan kerjasama multilateral di ranah internasional. Maka dihimpunlah sejumlah komite untuk kesejahteraan sosial dari berbagai negara dan Kawasan.

Berangkatlah delegasi Indonesia untuk turut dalam helat tersebut. Mereka antara lain adalah, yang terdiri dari Alwi Sutan Osman, S.H.(Dirjen Imigrasi), Prof. Raden Mas H. Sumantri Praptokusumo, S.H. (Departemen Sosial), Ijas Suhanda (Indonesia Red Cross Departemen Sosial), S.H., dr. Salekan (Departemen Kesehatan), A.M. Pasila, S.Th (Direktur Jenderal Urusan Bencana Alam dan Bantuan Sosial di Departemen Sosial), Prof. H. Sutan Marajo Nasaruddin Latif (Departemen Agama), dan Djadjat Sudradjat (Diplomat).

Ikut sertanya Indonesia di konferensi tersebut sangatlah menjadi perhatian sejumlah negara. Maklum karena sebelumnya Indonesia pada masa Bung Karno sempat menyatakan diri keluar dari anggota United Nations dan mendirikan apa yang ia sebut sebagai New Emerging Forces. Bahkan, negara-negara blok Barat beranggapan bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari Blok Timur dengan Poros Jakarta-Hanoi-Beijing. Setelah diplomat Djadjat Sudradjat menyampaikan situasi Indonesia saat itu, barulah tepuk tangan menggema untuk delegasi Indonesia di Gedung UN New York tersebut.

Tidak cukup sampai disitu, SD Ghokale selaku Secretary Generale ICSW kawasan Asia Pasifik langsung mendatangi meja delegasi Indonesia untuk bersalaman. Lama sekali jabatan tangan yang ia berikan dengan hangat. Lantas SD Ghokale mengundang delegasi Indonesia untuk dinner bersama dengan sejumlah rekannya di sebuah resto cukup ternama di New York. Namanya Le Diplomate bilangan Manhattan, New York. Tepat jam yang ditentukan, mereka telah berada di sana. Ternyata SD Ghokale tidak sendiri. Ia juga disertai dengan Jan Beekman (Secretary Nationale Raad voor Maatchscppelijk Welzijn, Nederland) dan Marga Klompe (Ministerie voor Cultuur, Rekreasi e Maatchscppelijk Werk) dan beberapa lagi lainnya asal Belanda. Maka mejapun berulang kali disuguhkan menu serta minuman penghangat.

Saat pulang, SD Ghokale berpesan, agar Jakarta sesegera mungkin membentuk Komite Nasional untuk Kesejahteraan Sosial. Bahkan Jan Klompe juga menyampaikannya di dalam bahasa Belanda; ‘‘ Wij moeten voorzichtig zijn. Als bu Nas vervangenwordt dan wetenwij niet wat er gaat gebeuren’’ (Hati-hati jangan terlalu lama. Kalau Bu Nas tidak ada, tidak tahu apa nanti jadinya). Semua delegasi Indonesia seperti serempak memahami pesan tersebut. ‘‘Wij zullen het goed doen’’ (Akan kami lakukan sebaik mungkin),’’ jawab Alwi Sutan Osman dengan senyuman.

Tiba di Jakarta, setelah beberapa hari istirahat. Secara bersama-sama para delegasi dari Konferensi Internasional ke-13 Dewan Kesejahteraan Sosial tersebut bertemu dengan Johana Sunarti Nasution di Teuku Umar. Mereka melaporkan tentang perkembangan di dalam konferensi di New York dan tuntutan kepada Indonesia. Beberapa bulan setelah itu, dideklarasikanlah Komite Nasional untuk Kesejahteraan Sosial Indonesia yang kini menjadi DNIKS setelah dilebur dengan BKSPA yang diketuai oleh Johana Sunarti Nasution.